SIDRAP, HBK — Malam itu, Desa Lainungan di Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), tampak sunyi seperti biasa.
Namun tepat pada Selasa, 14 Oktober 2025, sekitar pukul 00.30 WITA, keheningan desa yang berada di jalur provinsi itu mendadak pecah oleh letusan senjata api yang terdengar berulang kali.
“Suara tembakannya keras sekali, sampai anak-anak saya terbangun,” tutur Irennu, seorang ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari lokasi kejadian. Ia dan beberapa tetangga, seperti Lamba’e, mengaku panik dan tak berani keluar rumah.
“Kami hanya bisa tiarap di dalam rumah, takut pelurunya nyasar. Baru berani keluar setelah beberapa lama,” ungkapnya kepada wartawan, Sabtu (25/10/2025) sore.
Ketika suasana sudah agak tenang, sejumlah warga keluar dan mendapati sebuah mobil Mitsubishi Xpander berwarna silver terparkir di tepi badan jalan. Bagian bodinya berlubang di beberapa sisi — bekas peluru terlihat jelas menembus plat besi kendaraan itu.
Beberapa warga sempat melihat beberapa pria berpakaian preman membawa senjata laras panjang di sekitar mobil tersebut. Salah satu dari mereka terdengar berteriak keras.
“Ini mobil siapa punya, hah?” kata seorang pria bersenjata, seperti ditirukan warga yang berada tak jauh dari lokasi kejadian.
Malam itu, warga tidak tahu bahwa yang mereka saksikan merupakan bagian dari operasi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan yang mengaku tengah melakukan penggerebekan terselubung (undercover buy) terhadap dua pria — HR dan RF — yang diduga akan menerima 94 butir pil ekstasi dari seorang pria berinisial AO.

Tembakan Tanpa Peringatan
Namun keterangan dari lapangan menggambarkan kisah yang jauh berbeda dari versi resmi BNNP Sulsel.
Dalam klarifikasinya, pihak BNN menyebut bahwa tindakan tersebut adalah operasi sah dengan tembakan peringatan terukur untuk melindungi keselamatan petugas.
Tetapi dari hasil wawancara eksklusif dengan HR dan RF, muncul fakta lain.
“Tidak ada tembakan peringatan sama sekali. Tembakan langsung diarahkan ke mobil. Saya hampir kena peluru kalau tidak menunduk,” ungkap RF, salah satu penumpang mobil itu.
Menurut pengakuannya, peristiwa bermula ketika ia dan HR sudah menunggu lama di lokasi yang dijanjikan AO untuk menyerahkan barang pesanan. Namun karena proses terlalu lama, RF mengaku mulai gelisah dan marah.
“Saya sempat teriak ke AO, ‘kenapa lama sekali barangnya!’ Tapi baru saya bilang begitu, tiba-tiba langsung ada suara tembakan dari arah kiri mobil, disusul tembakan beruntun lainnya,” ujarnya.
Dalam kepanikan, HR yang mengemudi langsung menginjak pedal gas sambil menunduk untuk menghindari peluru. Beberapa proyektil disebut menembus pintu dan bodi mobil, bahkan hampir mengenai bagian kursi tengah tempat RF duduk.
“Kalau saya tidak merunduk, mungkin sudah kena peluru di kepala,” ucapnya pelan.

Mobil Sewa Jadi Sumber Petaka
Belakangan terungkap, mobil Mitsubishi Xpander yang diberondong peluru itu bukan milik HR ataupun RF, melainkan milik Hasdar, warga Sidrap.
Mobil tersebut disewa oleh Makmur Ibrahim, seorang Kepala Dusun asal Siwa, Kabupaten Wajo, yang kemudian dipinjamkan kepada HR dan RF untuk urusan pribadi.
Namun justru Makmur lah yang belakangan ditahan dan diminta bertanggung jawab atas kerusakan mobil itu.
Ia sempat ditahan dan di interogasi selama 6 hari, dimasukkan dalam sel dan sempat rambutnya dibotakin.
“Saya disuruh ganti rugi. Kalau tidak, katanya saya akan dijadikan tersangka dan dijerat Pasal 114 ayat 2,” ungkap Makmur, ditemui di Posko Resmob Polres Sidrap (22/10/2025).
Makmur mengaku ditangkap oleh sejumlah petugas BNN tanpa surat penangkapan dan dibawa ke Makassar. Ia ditahan selama enam hari di sel BNNP Sulsel tanpa surat penahanan.
“Kepala saya dibotak, disuruh tidur bersama tahanan lain. Saya juga dipaksa menyewa pengacara yang mereka tunjuk sendiri dan harus bayar Rp10 juta — lima juta untuk pengacara, lima juta katanya untuk petugas,” ujarnya.
Lebih jauh, Makmur mengaku dipaksa menandatangani surat pernyataan damai yang isinya ia bersedia memperbaiki mobil Hasdar yang rusak akibat tembakan petugas.
“Kalau saya tolak, katanya saya akan dijadikan tersangka. Jadi saya terpaksa tanda tangan,” katanya dengan suara berat.
Bantahan Pihak BNNP Sulsel
Menanggapi tudingan tersebut, Kasi Intel BNNP Sulsel, Agung FS, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari Makmur Ibrahim.
“Saya jamin personel BNN tidak menerima sepeser pun. Saya juga sudah bicara dengan pengacaranya Pak Dusun (Makmur). Memang dia menerima fee, tapi tidak ada kaitannya dengan BNN,” ujarnya.
Terkait pembotakan kepala Makmur selama berada di tahanan BNN, Agung menyebut hal itu dilakukan atas persetujuan yang bersangkutan dan bagian dari ketentuan disiplin internal BNN.
“Itu sudah sesuai prosedur internal kami,” tambahnya.
Namun, Agung mengaku tidak mengetahui soal dugaan ancaman agar Makmur menanggung biaya perbaikan mobil.
“Silakan ditanyakan ke pengacaranya Pak Dusun, saya tidak tahu soal itu,” katanya singkat.
Spekulasi dan Kebohongan dalam Skenario
Meski BNNP Sulsel menegaskan bahwa operasi itu sesuai prosedur, sejumlah kejanggalan justru makin mencuat.
Warga tidak mendengar adanya tembakan peringatan.
HR dan RF menolak disebut sebagai pembeli narkoba karena mengaku belum menerima barang sedikit pun. Sementara Makmur, yang tidak berada di lokasi, justru menjadi pihak yang paling ditekan secara hukum.
Dari hasil pantauan dan wawancara di lapangan, muncul spekulasi adanya “skenario” yang disusun untuk menutupi kekacauan operasi tersebut.
Beberapa sumber internal aparat menyebut ada upaya untuk “mengamankan” citra institusi, meski fakta di lapangan tidak sepenuhnya sesuai versi resmi.
Seorang warga yang enggan disebut namanya berkata lirih,
“Kami heran, kalau betul itu operasi resmi, kenapa tembakannya brutal sekali? Kenapa warga sipil sampai jadi korban dan disuruh tanggung jawab?”
Tuntutan Transparansi
Kasus ini kini menjadi sorotan luas publik di Sidrap dan Wajo. Banyak pihak mendesak agar BNNP Sulsel membuka seluruh dokumen operasi, termasuk surat perintah, laporan hasil penggerebekan, dan hasil pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai, bila benar terjadi penembakan tanpa prosedur dan penahanan tanpa surat resmi, maka itu merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan hak asasi manusia.
Hingga kini, belum ada langkah hukum berarti dari aparat kepolisian setempat terhadap dugaan pelanggaran prosedur dalam kasus tersebut. Namun, tekanan publik untuk membuka kebenaran semakin kuat.
“Kalau aparat sendiri yang menabrak hukum, ke mana lagi rakyat bisa mencari keadilan?” ujar seorang tokoh masyarakat Lainungan dengan nada getir.
Peristiwa di Desa Lainungan bukan sekadar kisah salah tembak. Ia adalah cermin dari persoalan transparansi, akuntabilitas, dan dugaan penyalahgunaan kewenangan di tubuh aparat penegak hukum.
Selama BNNP Sulsel belum membuka bukti otentik tentang operasi malam itu, spekulasi tentang kebohongan dan rekayasa skenario akan terus hidup di tengah masyarakat. (Ady)





Tinggalkan Balasan