SULSEL, HBK – Peredaran rokok ilegal merek King Garet di Sulawesi Selatan kini bak jamur di musim hujan.
Dari warung kopi pinggir jalan hingga kios kecil di pelosok Ajatappareng—mencakup Barru, Parepare, Pinrang, hingga Sidrap—barang haram bercukai palsu ini nyaris bisa dibeli kapan saja.
Ironisnya, di tengah maraknya peredaran tersebut, Bea Cukai terkesan absen. Tidak ada razia, tidak ada penyitaan, seolah-olah kasus ini tak lagi menjadi prioritas.
Padahal, awal Januari 2025 lalu, Bea Cukai Makassar bersama tim gabungan dan prajurit TNI berhasil mengamankan sekitar 45 ribu batang King Garet di Jeneponto. Bukti fisik kala itu jelas: pita cukai palsu yang merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.
Namun tujuh bulan berselang, merek yang sama justru beredar lebih masif. Harga jual yang jauh di bawah rokok legal membuatnya menjadi pilihan konsumen, sementara distribusinya berjalan mulus tanpa hambatan berarti.
Publik mulai gerah. Pertanyaan yang mengemuka sederhana tapi tajam: kalau dulu bisa ditangkap, mengapa sekarang dibiarkan? Apakah operasi sebelumnya hanya sebatas pencitraan, lalu selesai begitu saja?
Seorang warga Pinrang bahkan menyindir, “Kalau penegakan hukum hanya sekali tangkap lalu diam, apa bedanya dengan memberi karpet merah untuk pelaku?”
Kasus King Garet ini menampar kredibilitas aparat penegak hukum. Tanpa komitmen penindakan berkelanjutan, rokok ilegal bukan hanya merugikan kas negara, tapi juga memperkuat persepsi bahwa hukum bisa dinegosiasikan.
Jika Bea Cukai sungguh serius, seharusnya mereka tahu: memberantas rokok ilegal bukan tugas musiman, melainkan perang yang harus dimenangkan setiap hari. (Ady/*)
Tinggalkan Balasan