ENREKANG, HBK— Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Lingkar Tambang kembali menggelar aksi demonstrasi jilid II menolak rencana penambangan emas di Kecamatan Cendana dan Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Senin (1/12/2025).

Massa aksi yang terdiri dari kalangan lansia, petani, hingga mahasiswa itu menggelar orasi di depan Kantor DPRD dan Kantor Bupati Enrekang. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan penolakan tambang emas dan menutup akses jalan trans-nasional dengan membakar ban sebagai bentuk protes keras.

Sul, selaku jenderal lapangan, menegaskan bahwa rencana penambangan emas oleh CV Hadaf Karya Mandiri berpotensi memicu ancaman multidimensi—mulai dari kerusakan lingkungan, keselamatan warga, hingga instabilitas sosial.

“Aktivitas penambangan yang ingin dipaksakan ini sudah jelas mendapat penolakan keras dari masyarakat. Kawasan ini memiliki lereng curam, sungai kecil sebagai sumber air, dan lahan pertanian yang menopang ketahanan pangan warga. Semua akan terancam jika tambang tetap dipaksakan,” ujarnya saat berorasi.

Ia juga menyoroti kekecewaan warga terhadap sikap pemerintah daerah dan legislatif yang dinilai tidak tegas dalam menyikapi penolakan tersebut.

“Masyarakat sudah tegas menolak. Tidak ada ruang negosiasi lagi. Surat pernyataan penolakan lengkap dengan tanda tangan warga sudah kami serahkan kepada pemerintah dan DPRD. Itu harusnya jadi perhatian serius,” tegasnya.

Sul kemudian mengingatkan potensi konflik horizontal jika investor tetap memaksakan operasi tambang.

“Jika dipaksakan, jangan salahkan masyarakat kalau terjadi tindakan anarkis. Pengalaman penolakan tambang marmer dulu jadi pelajaran—alat berat dibakar karena tidak ada respon. Kami tidak ingin itu terulang, tapi masyarakat akan bersikap.”

Aksi warga juga menyinggung dugaan pelanggaran tata ruang. Lokasi tambang disebut berada pada kawasan rawan bencana sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Enrekang Nomor 14 Tahun 2016 tentang RTRW. Selain itu, warga menilai proses konsultasi publik tidak berjalan transparan sebagaimana diwajibkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH.

Minimnya informasi dan dokumen resmi dari dinas terkait disebut memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

“Terlihat ada pembiaran kerusakan lingkungan. Tidak ada transparansi dokumen, tidak ada mitigasi jelas yang disampaikan ke publik. Ini membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah yang seharusnya menjaga keselamatan ekologis dan hak-hak warga,” ungkap Sul.

Ia menegaskan bahwa masyarakat telah hidup sejahtera dari aktivitas pertanian, dan menolak keras eksploitasi tambang yang dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak.

“Kami sudah sejahtera dari bertani. Jangan zalimi masyarakat demi kepentingan tertentu. Kami tidak mau bernasib seperti korban di daerah lain yang kehilangan nyawa akibat dampak tambang,” tutupnya.

(Abbas)