SIDRAP, HBK — Ketika sejumlah bukit di Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), digerogoti alat berat siang-malam, kerusakan lingkungan dan infrastruktur justru dibiarkan seperti bukan urusan siapa-siapa.
Padahal, suara protes dari masyarakat terus bergema. Ironisnya, yang paling lantang disorot justru sikap “diam seribu bahasa” Kepala Dinas Lingkungan Hidup setempat, yang hingga berita ini tayang, belum memberikan klarifikasi satu kata pun.
Aktivitas tambang galian C yang disebut-sebut tak berizin, terus berlangsung dengan leluasa. Bukit-bukit yang dulunya hijau, kini bopeng. Gunung-gunung yang seharusnya menjadi benteng ekologi, kini berubah jadi ladang ekskavator.
Forum Peduli Masyarakat (FPM) Sidrap menyebut praktik ini tak hanya merusak bentang alam, tapi juga merampas hak warga atas lingkungan yang sehat. Aktivis FPM, Ahlan, dengan tegas mendesak aparat penegak hukum (APH) dan Pemkab Sidrap segera bertindak, bukan cuma berwacana.
“Kami mendesak agar kegiatan tambang ini dihentikan. Jika terbukti tidak mengantongi izin resmi, harus ditindak. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa lebih luas: dari banjir, longsor, hingga korban jiwa,” tegas Ahlan.
Sementara itu, warga sekitar juga menjerit. Jalan umum yang dulunya dibangun dengan uang rakyat, kini hancur akibat lalu-lalang truk tambang bertonase tinggi. Tak ada pemulihan. Tak ada kompensasi. Tak ada rasa tanggung jawab dari pelaku maupun pengelola tambang.
“Sudah rusak parah, tapi tidak ada yang peduli. Kami seperti dibiarkan menderita,” keluh seorang warga Lawawoi yang geram melihat kondisi jalan.
Pantauan lapangan pada 30 Juli 2025 mengungkap aktivitas tambang masih menggeliat di tiga kelurahan:
- Kelurahan Arawa: Di pinggir jalan dua jalur SKPD, tak jauh dari rumah makan Gasebo.
- Kelurahan Bangkai: Sepanjang jalan menuju Pasar Lawawoi.
- Kelurahan Lawawoi: Satu unit ekskavator masih standby di belakang pemukiman.
Yang lebih menyakitkan, Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 sudah sangat jelas menyatakan bahwa praktik penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah tindak pidana, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Namun, hukum seperti hanya tajam ke bawah. Para penambang tetap beroperasi, seolah kebal hukum.
Lebih jauh lagi, pelaku tambang liar bisa dikenai sanksi administratif: pencabutan izin, penghentian aktivitas, denda, dan kewajiban reklamasi lahan. Tapi semua itu tak berguna jika institusi pengawas justru memilih bungkam.
Pertanyaan besar pun menggantung di udara:
Di mana Dinas Lingkungan Hidup saat bukit-bukit Sidrap dikeruk habis?
Apakah suara rakyat tidak cukup nyaring untuk membangunkan mereka dari tidur panjang?
Masyarakat kini menuntut tindakan nyata, bukan janji manis. Pemerintah daerah dan APH diminta turun tangan sebelum Sidrap berubah menjadi wilayah bencana ekologis permanen. Karena membiarkan tambang liar terus hidup, sama saja mewariskan kehancuran pada generasi yang akan datang. (*)
Tinggalkan Balasan