Oleh: Murni Parembai, S.S., M.Ag.
Kerinduan akan kemerdekaan adalah cita-cita luhur yang terus menyala dalam sanubari setiap generasi bangsa yang terjajah. Semangat itu membakar jiwa rakyat Indonesia, khususnya sejak era Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 yang menandai fase awal kesadaran kolektif untuk bangkit sebagai bangsa yang merdeka. Puncaknya terjadi pada Sumpah Pemuda tahun 1928, saat para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara menyatakan ikrar persatuan: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa — Indonesia.
Tahun 1945 menjadi titik balik sejarah yang sangat menentukan. Di tengah kekacauan Perang Dunia II dan janji kemerdekaan dari Jepang, para pendiri bangsa melihat peluang strategis untuk merumuskan dasar negara. Dalam suasana yang penuh dinamika dan perdebatan yang intens, lahirlah gagasan besar tentang masa depan bangsa. Melalui semangat persatuan dan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, diskusi tersebut berbuah kesepakatan monumental.
Tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ir. Soekarno memperkenalkan lima prinsip dasar yang digali dari nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal Nusantara: Pancasila. Ia menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya fondasi negara, tetapi juga pandangan hidup dan bintang penuntun (leitstar) bagi bangsa Indonesia. Pancasila dirancang bukan sekadar untuk membentuk negara, tetapi untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya — yang berjiwa gotong royong, menjunjung keadilan, dan hidup dalam harmoni kebhinekaan.
Sayangnya, setelah delapan dekade Indonesia merdeka, kita justru menyaksikan sebuah ironi: masyarakat Pancasila justru semakin terasing dari nilai-nilai Pancasila. Lima sila yang dahulu menjadi ruh perjuangan kini banyak yang tinggal sebagai slogan formal. Ia hidup di dokumen-dokumen resmi negara, menjadi hafalan di sekolah, namun jauh dari praktik kehidupan sehari-hari.
Pancasila tereduksi menjadi simbol, bukan lagi sistem nilai yang menggerakkan etika sosial dan politik bangsa. Praktik intoleransi, korupsi, ketimpangan sosial, kekerasan atas nama agama, dan lunturnya solidaritas sosial adalah bukti nyata keterasingan masyarakat dari Pancasila yang sejati.
Refleksi delapan puluh tahun kelahiran Pancasila ini semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali: apakah kita masih setia pada nilai-nilai dasar bangsa ini? Ataukah Pancasila telah berubah menjadi artefak sejarah yang kita agung-agungkan tanpa pemaknaan?
Sudah saatnya kita merevitalisasi Pancasila — bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi sebagai panduan hidup yang aktual, membumi, dan kontekstual. Nilai-nilainya harus dihidupkan kembali dalam kebijakan publik, pendidikan, relasi sosial, dan terutama dalam kepemimpinan nasional.
Karena tanpa Pancasila yang hidup dan dijalankan, kita tidak hanya kehilangan identitas, tetapi juga arah masa depan bangsa. (*)
Tinggalkan Balasan