PAREPARE, HBK — Sengketa hukum antara Hj. Gusnah Toiyeb dan PT. Smart Multi Finance (SMF) kini menjelma menjadi drama panas yang menyita perhatian publik.

Di balik urusan pembiayaan, mencuat dugaan pelanggaran prosedur hukum yang bisa mengguncang kepercayaan terhadap lembaga pembiayaan nasional.

Kasus ini bukan sekadar persoalan cicilan yang tertunggak. Ia telah bergeser menjadi pertarungan antara hak hukum warga kecil dan dominasi korporasi besar — di mana keadilan diuji di hadapan publik.

Tim Kuasa Hukum nasabah selaku tergugat saat mendaftarkan gugatan kliennya.

“Kami Mau Bayar, Malah Disita”

Kuasa hukum Hj. Gusnah, Adv. Rahmat S. Lulung, S.H., menegaskan bahwa kliennya tidak pernah berniat mangkir dari kewajiban. Bahkan, kata Rahmat, pihaknya sudah menyampaikan niat baik untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran sebelum perkara bergulir ke meja pengadilan.

Namun niat itu justru berbalas tindakan eksekusi. PT. Smart Multi Finance mengajukan permohonan penyitaan dua unit kendaraan ke Pengadilan Negeri Parepare, masing-masing dalam dua perkara terpisah (Nomor 9 dan 10).

“Klien kami datang baik-baik untuk menyelesaikan masalah. Tapi bukan ruang mediasi yang dibuka, malah langsung dimohonkan eksekusi. Ini bukan lagi soal tagihan, tapi soal perlakuan yang tidak manusiawi,” ujar Rahmat dengan nada kecewa.

Fakta Janggal: Sertifikat Fidusia Tanpa Tanda Tangan

Kisruh ini semakin mencengangkan ketika tim kuasa hukum Hj. Gusnah mengungkap fakta mengejutkan: kliennya tidak pernah menandatangani perjanjian fidusia di hadapan notaris, bahkan tidak pernah menerima salinan resmi dokumen tersebut.

“Kalau sertifikat fidusia itu ada, siapa yang tanda tangan? Di mana prosesnya dilakukan? Karena klien kami sama sekali tidak pernah dihadirkan dalam proses notarial itu,” tegas Adv. Abdul Razak Arsyad, S.H., M.H.

Dugaan pun mengarah pada kemungkinan cacat formil dalam penerbitan sertifikat fidusia, yang dapat berimplikasi pidana jika terbukti ada manipulasi administratif atau pemalsuan dokumen.

Hakim Minta Dokumen, Perusahaan Diam Seribu Bahasa

Kejanggalan semakin terang saat persidangan di ruang mediasi Pengadilan Negeri Parepare. Majelis hakim telah memerintahkan PT. Smart Multi Finance untuk menyerahkan dokumen fidusia asli yang menjadi dasar eksekusi.

Namun hingga kini, perusahaan tersebut belum juga memenuhinya.

“Kami datang ke kantor PT. Smart, tapi staf hanya bilang tidak bisa menyerahkan dokumen. Padahal ini perintah hakim, bukan permintaan pribadi. Kalau patuh hukum, seharusnya transparan,” tegas Rahmat.

Langkah bungkam perusahaan ini memunculkan kecurigaan adanya indikasi penghalangan proses peradilan (obstruction of justice) yang dapat memperburuk citra lembaga keuangan tersebut.

Hukum Formil vs Keadilan Substansial

Kuasa hukum Hj. Gusnah menegaskan, kekuatan eksekutorial suatu fidusia hanya sah jika dibuat di hadapan notaris sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Tanpa penandatanganan sah, dokumen itu tidak memiliki nilai hukum.

“Sertifikat tanpa tanda tangan yang sah hanyalah kertas kosong. Tidak punya ruh hukum. Jadi dasar eksekusi ini cacat berat,” tegas Rahmat.

Pihaknya pun berencana melaporkan dugaan manipulasi dokumen tersebut ke aparat penegak hukum.

“Kalau ada permainan di balik meja, kami akan buka. Hukum jangan jadi alat menindas rakyat kecil,” lanjutnya.

Desakan ke OJK: Jangan Tutup Mata

Kasus ini kini melebar ke ranah pengawasan. Publik menuntut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan menelusuri kepatuhan PT. Smart Multi Finance terhadap:

  • Prosedur pengikatan fidusia,
  • Prinsip transparansi terhadap debitur,
  • Kepatuhan terhadap perintah hakim,
  • Serta tanggung jawab lembaga pembiayaan terhadap perlindungan konsumen.

Jika terbukti terjadi pelanggaran, OJK memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional.

Ujian Moral bagi Dunia Pembiayaan

Kasus Hj. Gusnah bukan sekadar konflik hukum. Ia adalah potret getir rakyat kecil yang berhadapan dengan kekuatan korporasi.

Di satu sisi, hukum menuntut kepastian; di sisi lain, keadilan menuntut kejujuran.

“Kami hanya menuntut keadilan yang jujur, bukan keadilan administratif yang berpihak pada korporasi,” tutup Rahmat.

Media ini akan terus mengawal perkembangan kasus hingga tuntas. Karena di atas segala pasal dan peraturan, ada kebenaran yang tak boleh dikalahkan oleh kekuasaan. (Ady)