BONE, HBK — Kasus dugaan korupsi anggaran miliaran rupiah di RSUD Tenriawaru Bone seolah tengah menguji daya tahan integritas aparat penegak hukum. Tujuh bulan berlalu sejak laporan diterima, penyidikan jalan di tempat, informasi minim, dan pelapor tak mendapat SP2HP sebagaimana mestinya. Ada apa?

“Kasusnya masih terus berjalan, saya lagi di Jawa ngurus nilai dulu,” singkat Kasi Pidsus Kejari Bone, Heru Sutanto, saat dikonfirmasi wartawan. Jawaban itu seperti menegaskan bahwa kasus ini belum menjadi prioritas, meski nilainya fantastis dan menyangkut layanan publik.

Diketahui, kasus ini berkaitan dengan pengelolaan anggaran BLUD RSUD Bone senilai Rp360 miliar, dengan rincian Rp135 miliar untuk anggaran tahun 2023–2024, terdiri dari Rp121 miliar untuk pelayanan dan Rp14 miliar untuk pengadaan alat kesehatan. Proses realisasi yang melibatkan pihak ketiga ini diduga kuat sarat penyimpangan, terutama dalam item belanja alat kesehatan pakai habis.

Sejumlah nama telah diperiksa, termasuk Direktur RSUD dr. H.M. Syahrir, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Kepala Bidang Program. Namun hingga kini tak ada kepastian perkembangan hukum.

Justru yang mengemuka adalah dugaan tekanan terhadap pelapor. Sumber internal menyebut pelapor sempat didatangi orang-orang yang mengaku dekat dengan pihak rumah sakit agar menarik laporannya.

“Kalau kejaksaan amanmi, tinggal pengadu jangan ribut,”ujar sumber, menirukan pernyataan salah satu oknum tersebut, yang disampaikan dengan gaya meyakinkan. Pelapor memilih merahasiakan identitasnya karena merasa khawatir akan keselamatan dan tekanan sosial.

Tak hanya itu, isu baru kembali menyeruak. Direktur RSUD Bone diduga dua kali melakukan perjalanan ke luar negeri dengan fasilitas yang disponsori oleh perusahaan farmasi. Jika benar, maka hal ini berpotensi menjadi gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK sesuai ketentuan Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi.

Namun ketika dikonfirmasi, dr. H.M. Syahrir menjawab singkat. “Silakan ndi ke kejaksaan.”Sebuah jawaban yang lagi-lagi menggambarkan betapa minimnya transparansi dalam kasus ini.

Andi Asrul Amri, SH., MH, praktisi hukum Bone, mempertanyakan sikap penyidik yang dianggap tidak profesional. Menurutnya, dalam proses hukum, penyidik wajib menyampaikan perkembangan perkara secara berkala kepada pelapor, terutama jika sudah memakan waktu berbulan-bulan.

“Seharusnya pihak penyidik tidak bersikap tertutup, apalagi aroma koruptifnya begitu kuat. Ini menyangkut uang rakyat. Jika dibiarkan tanpa informasi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, Asrul menegaskan bahwa Kejari Bone seharusnya berani mengungkap jika memang ada kendala hukum, bukan menyimpan kasus ini dalam diam yang berkepanjangan.

Sumber internal RSUD Bone membenarkan bahwa hampir setiap tahun rumah sakit merancang pengadaan alat kesehatan dengan nilai miliaran. Bahkan, proyek ini dinilai sebagai ladang keuntungan bagi sejumlah oknum yang terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

“Jenis alatnya bisa yang manual, bisa elektronik. Yang sering disebut ya Siemens. Tapi yang jelas, di situ ada untung besar dari pihak ketiga ke para petinggi RSUD,” ungkap pegawai yang meminta identitasnya disamarkan.

Tak hanya pengadaan alat kesehatan, belanja oksigen medis juga disebut mengandung kejanggalan. Informasi menyebut pengadaan oksigen dengan label H2O tak sesuai prosedur umum pengadaan barang jasa di sektor kesehatan.

Kasus ini mencerminkan bagaimana proses hukum bisa tersandera oleh tekanan, kompromi, atau bahkan pembiaran. Jika tidak segera dituntaskan, maka dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor kesehatan daerah.

Pelapor adalah warga negara yang menjalankan hak konstitusionalnya untuk mengawasi anggaran publik. Ketika pelapor mendapat tekanan, sementara aparat justru bungkam, maka demokrasi dan hukum sedang berjalan mundur.

Masyarakat kini menunggu akankah Kejari Bone memilih integritas atau tunduk pada permainan tak kasat mata?. (TIM)