PAREPARE, HBK – Suhu politik internal di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Parepare mulai memanas jelang pemilihan ketua baru.

Dukungan terbuka terus mengalir kepada Abdul Razak Arsyad, atau yang akrab disapa Acha Doel, untuk kembali memimpin organisasi profesi wartawan tersebut.

Namun dukungan ini tidak hadir dalam narasi yang tenang. Sebaliknya, kritik tajam dan sinyal keras terhadap sejumlah wartawan yang dinilai “bermain dua kaki” mulai menyeruak ke permukaan.

Mukhlis Abdullah, salah satu wartawan senior yang telah lama malang melintang di dunia jurnalistik Parepare, menyampaikan kekhawatirannya terhadap dinamika internal yang tengah berkembang. Baginya, memimpin PWI bukan sekadar soal popularitas atau kemampuan berpolitik.

“Wartawan itu basic-nya luar biasa. Mereka bukan tipe yang bisa diarahkan tanpa alasan. Karena itu, PWI butuh sosok yang paham isi kepala wartawan, bukan politisi dadakan yang hanya pandai bermanuver,” tegas Mukhlis.

Ia menilai, Acha Doel bukan hanya kuat secara konseptual, tapi juga terbukti dalam kerja nyata. Puluhan wartawan muda disebut lahir dari tangan dinginnya, bahkan banyak yang kini telah menyandang status wartawan kompeten.

Namun, justru di sanalah letak ironi yang dirasakannya.

“Sudah diberi, tapi lupa diri,” sindir Mukhlis. Ia menyoroti sejumlah wartawan yang telah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Madya, namun justru gagal menunjukkan integritas dan enggan menunjukkan penghargaan atas proses yang telah mereka lewati.

Tak berhenti di situ, isu yang lebih serius juga mencuat. Mukhlis mengungkap adanya desas-desus mengenai calon tertentu yang merasa memiliki “jaminan” politik dari Wali Kota, karena kedekatan saat Pilkada lalu. Lebih mencengangkan lagi, calon tersebut disebut-sebut mengancam akan membatalkan kontrak media bagi pihak-pihak yang tak mendukung pencalonannya.

Jika benar, ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, melainkan bentuk nyata intervensi kekuasaan dalam ruang profesi yang seharusnya steril dari tekanan politik.

“PWI bukan kendaraan balas jasa. Ketika wartawan kehilangan jarak dengan penguasa, maka kepercayaan publik ikut runtuh,” tandas Mukhlis.

Ia menekankan pentingnya figur seperti Acha Doel—sosok yang bekerja dalam senyap, bukan yang menjual pengaruh.

Pemilihan Ketua PWI Parepare kini menjelma menjadi ujian etika yang lebih besar dari sekadar kontestasi jabatan. Ini adalah panggung penentuan: apakah wartawan masih punya keberanian menjaga independensinya, atau justru rela tunduk pada bayang-bayang kekuasaan.

Sebab, integritas wartawan bukan hanya diuji saat mereka menulis berita, tetapi justru saat mereka harus memilih: berpihak pada kebenaran atau terjebak dalam pusaran kepentingan.