Passobis: Dari Bisnis Abu-Abu Menjadi Sindikat Siber

SALATIGA, HBK – Terungkapnya sindikat pembobol rekening nasabah Bank BCA senilai Rp750 juta oleh Polres Salatiga bersama Resmob Polda Sulsel serta dibackup penuh Unit Resmob PJP (Pasukan Papa Jarang Pulang) Polres Sidrap bukan sekadar kasus kriminal biasa.

Aksi para tersangka asal Sidrap ini membuka tabir lebih lebar: lahirnya kembali jaringan lama yang dikenal dengan sebutan Passobis (Pasukan Sosial Bisnis).

Istilah Passobis pertama kali mencuat di Sulawesi Selatan sejak lebih dari satu dekade lalu. Awalnya, ia merujuk pada kelompok-kelompok warga yang bergerak dalam usaha informal dan bisnis abu-abu, mulai dari kredit liar, arisan gelap, hingga praktik penipuan dengan kedok usaha keluarga.

Namun, seiring perkembangan zaman, jaringan ini bertransformasi: dari sekadar urusan ekonomi lokal menjadi sindikat kejahatan digital lintas provinsi.

Jejak Sosial: Dari “Ngumpul Duit” Jadi Mesin Kriminal

Passobis lahir dari budaya komunal, di mana sejumlah orang membangun jaringan sosial berbasis kepercayaan. Sayangnya, kepercayaan itu kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas kriminal. Mereka saling berbagi data, akses, bahkan “job desk” ala organisasi bisnis: ada yang memalsukan dokumen, ada yang menjadi eksekutor, ada pula yang mengatur aliran dana hasil kejahatan.

Dalam kasus Salatiga, pola itu tampak jelas:

  • MH alias DE (DPO) berperan sebagai penyedia dokumen palsu (KTP, data rekening, hingga PIN korban).
  • Agus Salim menjadi aktor lapangan, berpura-pura sebagai korban di bank.
  • Sunarti, istrinya, bertindak sebagai pendamping dan penguat alibi.
  • Muhammad Ansyar menjalankan fungsi keuangan, menarik dana sekaligus memindahkannya ke sejumlah rekening.

“Ini bukan kejahatan perorangan, tapi kerja kolektif. Mereka meniru pola bisnis: ada manajemen, ada pembagian kerja, bahkan ada ‘investasi’ dalam bentuk alat komunikasi, dokumen palsu, hingga kendaraan,” ungkap seorang sumber di kepolisian.

Bisnis Ilegal yang Mengancam Sistem

Jika ditelusuri, Passobis punya pola ekonomi unik. Uang hasil kejahatan tidak sekadar dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga diputar kembali.

Ada yang dipakai membeli motor atau barang berharga untuk dijual lagi, ada yang dialokasikan untuk modal usaha, hingga dipinjamkan ke jaringan lain dengan sistem bagi hasil.

Dengan kata lain, Passobis tidak hanya merugikan individu korban, tetapi juga menggerogoti sistem keuangan.

Mereka menciptakan arus uang ilegal yang sulit ditelusuri, mirip dengan praktik money laundering.

Di mata sosiolog, fenomena ini berbahaya. “Passobis itu bentuk modern dari shadow economy.

Ia tumbuh subur di daerah-daerah yang memiliki jaringan sosial kuat, tapi minim kontrol hukum. Jika tidak diberantas, ia akan berkembang menjadi ‘mafia lokal’ yang punya legitimasi sosial,” kata seorang akademisi di Makassar.

Celah Perbankan: Alarm Keamanan Nasional

Kasus ini juga menunjukkan betapa rentannya sistem perbankan Indonesia terhadap manipulasi identitas. Fakta bahwa KTP palsu bisa lolos verifikasi di bank besar adalah alarm keras. Teknologi biometrik e-KTP seharusnya bisa menjadi benteng, namun di banyak bank penerapannya masih sebatas formalitas.

Bayangkan jika jaringan Passobis mampu mengakses lebih banyak data bocor dari lembaga keuangan atau marketplace digital.

Potensi kerugian bisa meroket, bukan lagi ratusan juta, melainkan miliaran rupiah dengan korban massal.

Polisi vs Sindikat: Pertarungan Panjang

Keberhasilan polisi membongkar sindikat Sidrap ini tentu layak diapresiasi. Namun, aparat juga menyadari bahwa yang ditangkap hanyalah sebagian mata rantai.

Sementara MHalias DE sebagai otak penyedia data masih buron, dan diyakini memiliki koneksi lebih luas dengan jaringan kejahatan digital di luar Sulawesi.

“Passobis ini fleksibel. Begitu satu kelompok ditangkap, akan muncul kelompok baru dengan pola serupa. Mereka merekrut berdasarkan jaringan keluarga dan teman dekat.

Jadi pemberantasannya tidak bisa hanya lewat penegakan hukum, tapi juga lewat pemutusan aliran data dan edukasi masyarakat,” jelas seorang perwira penyidik.

Kesimpulan: Bayang-Bayang Gelap di Era Digital

Kasus Rp750 juta di Salatiga adalah puncak gunung es. Di bawahnya, ada dunia gelap sosial bisnis yang terus beradaptasi dengan teknologi. Passobis bukan lagi sekadar masalah kriminal lokal, melainkan ancaman bagi stabilitas keuangan nasional.

Jika negara gagal memperkuat keamanan data pribadi, regulasi perbankan, dan literasi digital masyarakat, maka bukan mustahil sindikat semacam ini akan berkembang menjadi jaringan mafia baru yang sulit diberantas.

Keberhasilan polisi kali ini memang menutup satu lubang. Tetapi, masih banyak pintu lain yang terbuka. Dan Passobis, sebagaimana sejarahnya, selalu tahu cara masuk lewat celah yang paling lemah. (Arya)