SINJAI, HBK– Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan (SulSel) mengelola anggaran yang bersumber dari Dana Insentif Fiskal (DIF) 1.7 miliar untuk penanganan/penurunan stunting tahun 2023 yang pencapaian angka stunting malah naik.

Pengelolaan Anggaran miliaran rupiah oleh dinas kesehatan Sinjai tersebut, berdasarkan Informasi yang dihimpun dari Dua sember data yang berbeda, data stunting di Sinjai periode Februari-Juni 2024, baik dari data SKI dan e-PPGBM, masing – masing tidak mengalami penurunan, justru angka stunting di Sinjai mengalami kenaikan.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Indonesia (SKI) Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, prevalensi Stunting di Kabupaten Sinjai menyentuh posisi 33,5 persen. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 4,1 persen dari tahun 2022 yang berada di posisi 29,4 persen.

Sementara data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sinjai, anggaran Rp1,7 miliar itu digunakan untuk membiayai program penanganan stunting. Antara lain, pengadaan vitamin dan susu balita senilai Rp1,05 miliar, pengadaan vitamin dan susu ibu hamil Rp631 juta.

Lalu, pengadaan bahan kegawatdaruratan ambulans perairan Rp442.750 dan belanja modal alat kedokteran umum alat kegawatdaruratan ambulans perairan senilai Rp63,8 juta.

Sudirman aktivis Universitas Muhammadiyah Sinjai menilai intervensi stunting yang dilakukan Dinas Kesehatan dinilai tidak efektif dan mempertanyakan pengelolaan anggaran tersebut. Jika, dilihat dari jumlah anggaran yang dikelola sangat besar sementara hasil yang dicapai justru angka stunting mengalami kenaikan.

“Kami mempertanyakan penggunaan anggaran besar itu karena tidak memberikan efek terhadap prevalensi stunting di Sinjai, ini harus diusut oleh Aparat Penegak Hukum,” tegas aktivis Universitas Muhammadiyah Sinjai, Sudirman, Senin, 5 Agustus.

Ditemui diruangannya oleh media, Kepala Dinas Kesehatan Sinjai, Emmy Kartahara Malik yang tidak menampik kenaikan angka stunting di Sinjai, dia mengatakan, dari Rp1,7 miliar anggaran yang diterima melalui Dana Insentif Fiskal (DIF), pihaknya hanya mampu merealiasasikan sekitar Rp1,6 miliar. Alasan keterbatasan waktu penggunaan anggaran menjadi kendala.

“Sudah mepet waktunya di akhir tahun 2023 sehingga tidak bisa kami belanjakan 100 persen dan kami kembalikan ke kas daerah,” jelasnya.

Terkait angka prevalensi stunting yang mengalami peningkatan berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia, dia membenarkan data tersebut. Namun, dalam penanganan stunting, pihaknya juga memiliki data tersendiri melalui Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM).

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh petugas kesehatan puskesmas, angka stunting diperoleh menyentuh angka 6,4 persen pada pengukuran bulan Februari 2024. Kemudian dilakukan pengukuran kembali pada bulan Juni, meningkat menjadi 6,8 persen.

“Ada dua sumber data prevalensi stunting, makanya waktu pertemuan dengan Kementerian Kesehatan RI, mereka pusing mau pakai data yang mana untuk melakukan intervensi,” kuncinya. (RLS/DIN)