SIDRAP, HBK — Di sebuah sudut sunyi Kelurahan Belokka, Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten Sidrap, terdapat sebuah kehidupan yang tak pernah tersorot lampu panggung pembangunan.

Di antara pepohonan dan jalan tanah yang hanya bisa dilalui dengan susah payah, berdirilah sebuah gubuk mungil berukuran 2 x 2 meter. Nyaris tak disebut rumah—lebih mirip sebuah tempat berteduh sementara yang didirikan karena terpaksa, bukan pilihan.

Gubuk itu dihuni oleh Amir (50), istrinya, dan seorang anak mereka. Bambu-bambu tipis yang telah rapuh menjadi dinding utama, sebagian ditempel terpal bekas untuk menahan angin malam. Atapnya pun hanya sebidang terpal yang mudah koyak dan tak sanggup melindungi saat hujan turun. Di depan pintu, sepotong kayu hutan dijadikan tangga, tersusun tanpa paku, sekadar memberi pijakan bagi tiga kehidupan yang bertahan di dalamnya.

Namun, di balik struktur ringkih itu, ada keteguhan hati yang jauh lebih kokoh daripada beton.

Malam-malam yang Tidak Pernah Tenang

Setiap malam bagi Amir adalah pertaruhan antara bertahan atau pasrah. Suara-suara dari semak belukar, langkah binatang liar, hingga angin yang menerpa terpal tipis kerap membuat dadanya berdebar. “Takut tinggal di bangunan bekas kandang ayam, tapi mau bagaimana lagi,” tuturnya lirih.

Kata-kata itu tidak hanya menggambarkan rasa takut, tetapi juga rasa letih seorang kepala keluarga yang merasa kalah oleh keadaan, tetapi tetap memilih untuk berjuang.

Air Mata Jurnalis di Balik Kamera

Saat jurnalis Wawan mengunjungi lokasi itu, ia sempat tertegun lama. Bukan karena keganjilan, tetapi karena fakta bahwa masih ada warga yang hidup dalam kondisi sedemikian mengkhawatirkan, di sebuah kabupaten yang terus berbenah.

Ia mengaku sulit menahan haru ketika melihat sendiri rumah yang bahkan lebih kecil dari kamar mandi modern. “Dindingnya ditempel terpal, atapnya terpal, lantainya pun hampir roboh. Orang seperti Pak Amir inilah yang betul-betul membutuhkan uluran tangan kita,” ungkapnya.

Humanisme bukan hanya tentang memotret; terkadang ia mengetuk nurani yang lama tertidur.

Pemerintah Setempat Mengaku Pernah Mengusulkan, Tapi Terhambat Akses

Lurah Belokka, H. Alimuddin, membenarkan kondisi tersebut. Ia mengatakan Amir telah lama tinggal di tempat itu, dan sudah menerima bantuan sosial PKH. Namun untuk bantuan bedah rumah, Amir tak pernah masuk daftar penerima.

“Pernah kami coba usulkan bantuan bedah rumah, tapi terkendala akses jalan masuk ke rumahnya yang sulit ditempuh,” ujarnya.

Di balik jawaban itu, tersirat persoalan klasik: warga miskin kerap terjepit dalam aturan teknis dan hambatan administratif yang membuat mereka tetap terkurung dalam lingkaran kemiskinan bertahun-tahun.

Dinas Sosial Siap Turun Tangan

Kepala Dinas Sosial Sidrap, Wahida Alwi, saat dikonfirmasi, mengaku belum mengetahui secara detail kondisi Amir. Namun ia meminta data lengkap dikirimkan agar timnya bisa segera melakukan asesmen.

“Mohon dibantu datanya supaya anggota kami bisa segera turun melakukan asesmen,” balasnya singkat melalui WhatsApp, Jumat (14/11/2025).

Sebuah langkah awal yang setidaknya memberi setitik harapan.

Lebih dari Sekadar Rumah Roboh — Ini tentang Martabat

Kisah Amir bukan sekadar tentang rumah yang reot. Ini tentang martabat warga negara yang berhak hidup aman, nyaman, dan layak. Tentang seorang ayah yang memilih bertahan tanpa mengeluh, meski dunia seakan menutup mata. Tentang keluarga yang hidup dalam batas minim, namun tetap menjaga kehangatan di ruang yang hampir tak memiliki ruang.

Amir tidak meminta banyak—hanya tempat tinggal yang tidak membuatnya takut setiap malam, serta perlindungan untuk keluarganya.

Yang dibutuhkan Amir bukan belas kasihan, tetapi perhatian nyata. Karena di balik dinding rapuh 2 x 2 meter itu, ada kehidupan yang tak boleh dibiarkan roboh. (Arya)