“Kehadiran Andi Syaqira menegaskan talenta anak daerah di panggung nasional menjadi ikonik citra budaya asal, sementara gema dangdut menunjukkan daya pulih sosial yang tak lekang waktu”
JAKARTA, HBK — Di studio Indosiar, Daan Mogot, panggung megah berkilau lampu, tata suara terukur, dan orkestra digital yang rapi menyambut ratusan penonton dari beragam daerah.
Malam itu, suasananya serasa berpindah ke Sidenreng Rappang (Sidrap): teriakan dukungan, obrolan santai hingga yel-yel pendukung mengalun dalam bahasa Bugis.
Di pusat perhatian, Andi Syaqira—kontestan asal Sidrap di D’Academy 7 (DA7)—menjadi simpul kebanggaan kampung halaman yang tengah memantulkan sinarnya ke panggung nasional.
Seorang penonton yang datang atas ajakan para perantau Sidrap—pengusaha Kakak Ilham Junaedy bersama kakak Rudi Hartono Majid dan Kakak Dibas—menggambarkan kontras yang menyentuh: dari pengalaman menonton orkes kampung di pesta pengantin era 1990-an, kini berhadapan dengan produksi televisi berstandar konser dunia.
Tata panggung “luxury”, rancak, dan tertib; orkestrasi dan aransemen menawarkan nuansa kontemporer yang—sebagian—menggemakan groove Latin, tanpa kehilangan identitas dangdut.
Talenta Anak Bangsa: Syaqira sebagai Etalase Kualitas
Di tengah kompetisi yang kian ketat, performa Andi Syaqira menjadi bukti bahwa bakat daerah—ditempa latihan disiplin, literasi musikal, dan jam terbang—mampu bersaing dalam standar industri.
Penguasaan panggung, penempatan dinamika vokal, hingga kemampuan membaca penonton memperlihatkan talenta yang siap diproduksi: bukan sekadar “suara bagus”, melainkan paket lengkap yang bisa menjelma karya, pasar, sekaligus identitas.
Keberadaan ratusan pendukung di studio—yang tak ragu menyodorkan dukungan berbahasa Bugis—menghadirkan ruang kultural sementara: studio televisi berubah menjadi “kampung halaman dadakan”. Di sanalah musik bertemu identitas, dan talenta muda jadi medium silaturahmi di perantauan.
Dangdut sebagai Penawar “Risk Society”
Saat wawancara khusus lewat WhatsApp, Rabu (13/08/2015), Pengamat ekonomi DR Syahrir melihat fenomena ini melampaui hiburan semata. Dalam kacamata sosial, dangdut bekerja sebagai penawar tekanan zaman.
Di saat publik berhadapan dengan biaya hidup, ketidakpastian kerja, hingga turbulensi sosial, ritme dangdut—ramah telinga, mudah diikuti, memadukan lirih melankolis dengan ketukan yang mengundang joget—menciptakan katup pelepas tekanan. Orang bisa tetap berdansa meski hatinya sedang berat; rasa cemas diproses bersama-sama menjadi energi kolektif yang lebih ringan.
Dalam istilah sederhana, dangdut meminimalkan dampak “risk society”: ia menyulam kebersamaan, mengurangi jarak sosial, dan menyediakan ruang ekspresi yang inklusif.
Aransemen yang menyeberang genre—sesekali mengeja aksen Latin—menjadi jembatan yang membuat musik ini relevan lintas generasi dan geografi, dari gang-gang kampung hingga panggung megaproduksi televisi.
“Studio Serasa Sidrap”: Identitas yang Mengerat
“Temukan kampung halaman Sidrap di studio TV Indosiar”—kalimat itu menemukan maknanya malam tersebut.
Ketika dukungan kepada Syaqira menggema, bahasa ibu berkelindan dengan musik populer.
Para perantau dan warga lokal menyatu pada satu tujuan: mengangkat nama daerah lewat prestasi.
Bagi banyak penonton, itu bukan sekadar kontes; itu ritual kebanggaan yang menyatukan memori, bahasa, dan harapan.
Ekonomi Budaya dan Kepemimpinan Daerah
DR Syahrir juga menyoroti sinyal positif dari Sidrap di bawah kepemimpinan Bupati H. Syaharuddin Alrif.
Menurutnya, daerah dengan modal sumber daya alam dan SDM diaspora yang kian menonjol di tingkat nasional punya peluang besar mengakselerasi ekonomi budaya—mulai dari ekosistem talenta, event kreatif, promosi pariwisata berbasis budaya, hingga kolaborasi UMKM kreatif.
Ketika pemerintah daerah memberi ruang, komunitas perantau menyokong, dan media nasional menyediakan panggung, rantai nilai musik akan memanjang: dari panggung ke studio, dari studio ke platform digital, dari dukungan penonton menjadi pasar yang berulang.
Pesan kuncinya jelas: investasi pada talenta bukan biaya, melainkan strategi pembangunan.
Di sanalah peran kolektif—pemerintah daerah, swasta/perantau, komunitas seni, media—bertemu.
Dari Undangan Komunitas ke Gerakan Dukungan
Kehadiran penonton yang awalnya “ragu hadir” tetapi luluh oleh ajakan kak Ilham, Rudi, dan Dibas memperlihatkan mekanisme sosial paling dasar dari industri musik: rekomendasi orang ke orang.
Dari ajakan WhatsApp hingga arak-arakan dukungan di studio, jaringan informal perantau berubah menjadi mesin promosi organik.
Di era algoritma, komunitas tetap algoritma yang paling manusiawi—menggerakkan kaki ke studio, tangan ke tombol voting, dan suara ke chant dukungan.
Petuah untuk Generasi Muda dan Para Pemangku Kepentingan
- Untuk talenta muda: rawat teknik, asah rasa, pahami panggung, dan pelajari produksi. Bakat perlu manajemen.
- Untuk pemerintah daerah: perluas skema dukungan (beasiswa seni, fasilitas latihan, kalender event), jadikan musik sebagai lokomotif ekonomi kreatif.
- Untuk komunitas/perantau: lanjutkan dukungan yang konkret—dari pendampingan hingga promosi—sebab jejaring sosial adalah modal pertama industri musik.
- Untuk industri/TV/platform digital: buka ruang kurasi yang adil dan pelatihan pasca-ajang agar talenta tidak padam setelah kompetisi berakhir.
Penutup: Syaqira dan Jalan Panjang Sebuah Ekosistem
DA7 Indosiar memperlihatkan bahwa Indonesia tidak kekurangan bintang, yang kita butuhkan adalah ekosistem.
Malam ketika studio serasa Sidrap, Andi Syaqira berdiri bukan hanya sebagai kontestan, melainkan representasi harapan: bahwa musik dangdut—dengan seluruh keluwesan dan kedalaman emosinya—akan terus menjadi bahasa bersama yang memulihkan, mempersatukan, dan mengangkat martabat anak negeri.
Sumber perspektif: wawancara/pendapat DR Syahrir (pengamat ekonomi). Nama “Andi Syaqira” kerap juga disebut “Andi Syakirah” oleh para pendukung di studio.
Tinggalkan Balasan