SUBULUSSALAM, HBK — Anggota DPRK Subulussalam, Antoni Angkat, menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap perusahaan perkebunan sawit yang tidak memenuhi kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum yang turut dihadiri Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI.

Menurut Antoni, banyak perusahaan sawit di Kota Subulussalam yang secara terang-terangan mengabaikan ketentuan perundang-undangan terkait plasma. Padahal, regulasinya sudah sangat jelas.

Aturan Nasional: 20% Plasma Wajib Dibangun Perusahaan

Antoni mengingatkan bahwa Undang–Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 58 ayat (1), mewajibkan setiap perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari total areal kebun.

“Faktanya, banyak perusahaan di Subulussalam tidak melaksanakan kewajiban itu. Ini bentuk ketidakpatuhan terhadap undang-undang yang berlaku secara nasional,” tegasnya.

Aturan Khusus Aceh: Plasma 30% atau Kepemilikan Saham 30%

Aceh sendiri memiliki aturan yang lebih kuat melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012, yang memberi dua pilihan bagi perusahaan:

  1. Membangun kebun plasma minimal 30%, atau
  2. Memberikan porsi saham 30% kepada masyarakat sebagai bentuk kemitraan.

“Qanun Aceh sudah sangat jelas. Tidak ada alasan lagi bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut,” ujarnya.

Antoni juga menepis alasan perusahaan soal ketiadaan lahan untuk plasma. Menurutnya, qanun telah memberikan berbagai skema, mulai dari penyertaan aset, pembangunan kebun, produksi, pemasaran hingga bagi hasil.

Pendapatan Daerah Tidak Sejalan dengan Luas HGU Sawit

Dalam forum itu, Antoni menyoroti ketimpangan antara luas perkebunan sawit dan kontribusinya terhadap pendapatan daerah.

Subulussalam memiliki areal sawit yang menguasai sekitar 25% wilayah kota, namun Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya sekitar Rp475 miliar.

“Ini anomali. Kota dan masyarakat tidak merasakan dampak kesejahteraan yang semestinya,” katanya.

Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit juga justru menurun dalam tiga tahun terakhir:

  • 2023: Rp 7,1 miliar
  • 2024: Rp 5,2 miliar
  • 2025: Rp 3,2 miliar

Padahal produksi sawit dan CPO terus meningkat setiap tahun.

“Ini sangat tidak adil. Luasan sawit besar, dampak lingkungan besar, tapi DBH malah turun,” tegas Antoni.

Minta DPR RI dan Kemenkeu Evaluasi DBH Sawit

Antoni meminta DPR RI dan Kementerian Keuangan mengevaluasi mekanisme alokasi DBH Sawit agar lebih adil untuk daerah penghasil.

“Tinjau ulang kebijakan DBH Sawit. Berikan alokasi yang proporsional sesuai kondisi lapangan, bukan hanya angka di atas kertas,” pintanya.

Ia menutup pernyataan dengan seruan keras kepada pemerintah pusat dan perusahaan perkebunan sawit.

“Subulussalam sudah terlalu lama hanya jadi penonton di tanah sendiri. Saatnya masyarakat mendapatkan bagiannya, baik dari plasma maupun dari pendapatan negara.”

(Amdan Harahap)