SINJAI, HBK– Kalau semak bisa bicara, mungkin ia akan berkata: “Terima kasih sudah menitipkan bayi, tapi aku bukan panti asuhan.” Ironi ini nyata terjadi di Dusun Bole, Desa Saohiring, Kecamatan Sinjai Tengah, Senin (15/9/25). Warga menemukan bayi perempuan masih hidup, dibungkus kain putih, dilempar begitu saja ke rimbunan belukar.

“Alhamdulillah, masih hidup. Bayi perempuan itu terbungkus kain warna putih,” ujar seorang warga.

Syukur memang, tapi juga sekaligus tamparan keras: ada orang tua yang tega membuang bayi seolah sampah.

Kapolsek Sinjai Tengah, Iptu Tenri Gangka, memastikan polisi turun tangan. “Benar, bayi berjenis kelamin perempuan. Anggota bersama Kanit Reskrim sudah turun ke lokasi,” jelasnya. Ia pun memerintahkan penyelidikan. “Saya perintahkan Kanit Res bersama Kanit Intel untuk lidik siapa orang tua bayi yang ditemukan oleh warga,” tegasnya.

Sayangnya, jawaban selanjutnya terdengar seperti kalimat standar birokrasi. “Tunggu saja akan di sampaikan kapolres,” tulisnya lewat pesan WhatsApp kepada sejumlah awak media. Sementara polisi masih menunggu giliran konferensi pers, sang bayi sudah lebih dulu menunggu nasib—sendirian di semak belukar.

Abdul Karim, warga yang menemukannya, awalnya menyangka suara tangisan itu kambing. Bayi manusia disangka hewan ternak—sebuah satire kehidupan yang mungkin terlalu kejam untuk ditertawakan.

“Alhamdulillah kondisinya baik,” kata Kepala Puskesmas Manimpahoi, Muh Kaswin. Bayi itu kini dirawat.

Bayi tersebut sekarang telah dilanjutkan perawatannya ke RSUD Sinjai. Setidaknya jauh lebih manusiawi daripada perlakuan orang tua yang melahirkannya.

Kasus ini bukan hanya soal hukum, tapi juga cermin gelap tentang kemanusiaan. Hewan saja melindungi anaknya mati-matian. Ironisnya, manusia justru menitipkan darah dagingnya ke semak, lalu berharap semesta yang mengurus. (Fitrah)