“Kuasa hukum sebut ada dugaan penyalahgunaan wewenang, Polres Bulukumba klaim penyitaan sah sesuai prosedur”
BULUKUMBA, HBK – Polemik dugaan penyalahgunaan wewenang melibatkan aparat kepolisian kembali mencuat.
Kali ini, KBO Reskrim bersama sejumlah personel Unit Tipidter Polres Bulukumba resmi dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri oleh pasangan suami istri, Wirfan Mela alias Ippang dan Syahrani alias Fani, Senin (8/9/2025).
Wirfan menuding aparat kepolisian telah melakukan penyitaan mobil Toyota Avanza miliknya secara paksa tanpa prosedur yang sah.
Kuasa hukum Wirfan, Musakkar, S.H., menilai tindakan aparat tersebut cacat hukum dan melanggar prinsip-prinsip penyidikan.
“Klien saya belum pernah menerima surat panggilan, belum pernah diperiksa sebagai terlapor, tapi tiba-tiba mobilnya disita begitu saja. Tanpa surat penyitaan yang sah, kunci kontaknya bahkan dirusak. Ini bukan prosedur penyitaan, ini perampasan,” tegas Musakkar.
Diketahui, permasalahan bermula saat Wirfan meminjam dana di WOM Finance dengan menjaminkan BPKB mobilnya. Namun karena mengalami tunggakan cicilan, Wirfan merantau ke Morowali pada Juni 2025 untuk mencari nafkah.
Mobil Toyota Avanza itu dititipkan kepada kerabatnya, Risal, lantaran rumah Wirfan tidak memiliki garasi. Namun pada Rabu (3/9/2025), sejumlah anggota Unit Tipidter dan KBO Reskrim mendatangi rumah Risal dan diduga mengambil mobil tersebut secara paksa dengan dalih adanya laporan penggelapan dari pihak leasing.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Fani, istri Wirfan, mendatangi Polres Bulukumba untuk memastikan kebenaran informasi penyitaan. Namun menurut Musakkar, Fani justru diperlakukan layaknya tersangka.
“Fani langsung diminta masuk ke ruang Tipidter dan diperiksa, padahal dia datang hanya untuk menanyakan soal mobil. Tidak ada surat panggilan, tidak ada pendampingan kuasa hukum, dan dia dipaksa memberikan keterangan. Bahkan, jelang magrib, dia baru dipulangkan setelah memohon karena anaknya di rumah menangis menunggu. Anehnya, malam itu juga dia diwajibkan kembali untuk melanjutkan pemeriksaan. Ini jelas bentuk intimidasi,” ungkap Musakkar.
KBO Reskrim Polres Bulukumba saat dikonfirmasi tidak membantah adanya penyitaan mobil milik Wirfan. Namun ia berkilah hanya menjalankan perintah atasan.
“Saya hanya melaksanakan perintah Pak Kasat (Kasat Reskrim IPTU Muhammad Ali). Kalau mau wawancara lebih jelas, silakan ke beliau,” ujarnya singkat.
Sementara itu, Kasat Reskrim IPTU Muhammad Ali menegaskan bahwa penyitaan mobil dilakukan sesuai prosedur.
“Surat penyitaan sudah kami perlihatkan kepada Risal. Kalau tidak diberikan, itu karena Risal pergi meninggalkan lokasi,” jelasnya.
Namun ketika ditanya apakah sah menyita barang bukti tanpa memeriksa terlapor terlebih dahulu, IPTU Ali memberikan jawaban mengejutkan.
“Iya, bisa,” jawabnya singkat.
Pernyataan polisi berbeda dengan kesaksian Risal, kerabat Wirfan yang menjadi saksi saat mobil diambil.
“Mereka hanya memperlihatkan secarik kertas, tapi dari jauh. Saya tidak bisa membaca isinya. Bahkan, surat itu tidak diberikan kepada saya atau Fani. Kalau memang itu surat penyitaan dari pengadilan, kenapa tidak ada salinannya?” kata Risal.
Kuasa hukum Wirfan telah melaporkan kasus ini ke Propam Mabes Polri dengan dugaan pelanggaran prosedur penyitaan dan intimidasi terhadap keluarga kliennya.
Musakkar mendesak Mabes Polri untuk turun tangan, memeriksa seluruh proses penanganan perkara ini, termasuk dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat Polres Bulukumba.
“Kami minta Mabes Polri mengusut dugaan pelanggaran prosedur ini secara transparan. Hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkas Musakkar.
Kasus ini membuka kembali perdebatan soal batas kewenangan penyidik dalam menangani perkara leasing dan dugaan penggelapan kendaraan. Dalam praktiknya, penyitaan kendaraan seharusnya dilakukan setelah adanya penetapan dari pengadilan, kecuali untuk barang bukti yang bersifat in flagrante delicto.
Jika benar penyitaan dilakukan tanpa penetapan pengadilan dan tanpa pemanggilan terlapor, maka ada potensi pelanggaran prosedur yang bisa berimplikasi pada sanksi etik hingga pidana bagi oknum aparat terkait. (Ibhas)





Tinggalkan Balasan