KOLAKA TIMUR, HBK — Sebuah tragedi memilukan mengguncang warga Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Seorang bocah perempuan berusia 10 tahun, Mutmainah Azahra, ditemukan tewas bersimbah darah di tepi jalan kebun, Jumat pagi (05/09/2025).

Korban yang semula hendak pergi mengaji bersama adiknya diduga menjadi korban pembunuhan brutal oleh Rahmat Hidayat (18), seorang petani warga Dusun I, Desa Wundubite, Kecamatan Poli-Polia.

Di balik peristiwa mengenaskan ini, terselip dugaan persoalan sepele yang berujung pada hilangnya nyawa seorang anak.

Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengaku tega menebas korban hanya karena merasa sakit hati akibat sering diejek sebagai “pendatang sok-sokan” oleh korban.

Kronologi Berdarah di Jumat Pagi

Peristiwa itu bermula sekitar pukul 06.30 Wita. Mutmainah Azahra bersama adiknya, Wahyu, sedang mengendarai sepeda listrik menuju tempat mengaji.

Dalam perjalanan di Dusun I Desa Wundubite, mereka tiba-tiba dicegat oleh Rahmat Hidayat.

“Pelaku langsung menarik kakak saya ke dalam kebun,” ujar Wahyu dengan suara gemetar saat memberikan keterangan kepada polisi. Wahyu yang ketakutan kemudian lari sekuat tenaga menuju tempat pengajiannya untuk meminta pertolongan.

Tak lama berselang, Laupe, seorang warga yang hendak ke kebun, menemukan tubuh Mutmainah terbaring bersimbah darah di tepi jalan.

Ia segera memanggil Muh. Yunus dan Kamariah, warga sekitar. Saat tiba di lokasi, Yunus sempat menggenggam tangan korban yang masih memberikan respons lemah.

Namun, harapan untuk menyelamatkannya pupus saat Mutmainah dinyatakan meninggal dunia setelah dibawa ke RSUD Kolaka Timur.

Motif Sepele, Amarah Memuncak

Dalam interogasi, Rahmat Hidayat mengakui perbuatannya. Ia mengaku sakit hati karena korban kerap mengejeknya setiap kali berpapasan.

“Dia sering mengacungkan jempolnya sambil bilang ‘kamu pendatang jangan sok-sokan,’” ujar Rahmat dengan tenang di hadapan penyidik.

Rasa terhina dan dendam yang dipendam pelaku memuncak pagi itu. Saat melihat korban dan adiknya lewat, ia spontan memanggil, menarik korban ke dalam kebun, lalu menebasnya menggunakan parang yang dibawanya.

Motif ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana ejekan seorang anak bisa memicu aksi pembunuhan sedemikian brutal? Aparat kepolisian menduga ada potensi gangguan psikologis pada pelaku atau latar belakang konflik sosial yang lebih kompleks.

Histeris di Lokasi Kejadian

Di lokasi kejadian, suasana duka bercampur amarah menyelimuti warga. Kamariah, tante korban, histeris saat mengetahui tubuh tergeletak bersimbah darah itu adalah keponakannya.

Tak lama kemudian, Burhanuddin, ayah korban, tiba di lokasi dengan emosi yang tak terbendung. Sambil menangis, ia berteriak keras:

“Siapa yang bunuh anakku?!”

Keluarga korban kini menuntut proses hukum yang tegas dan transparan. Warga setempat bahkan mendesak kepolisian agar pelaku dihukum seberat-beratnya.

Penyelidikan dan Langkah Kepolisian

Kapolsek Poli-Polia, IPTU Sahrul M. Yusuf, membenarkan adanya peristiwa pembunuhan ini.

Saat ini, pelaku sudah diamankan di Mapolsek dan tengah menjalani pemeriksaan intensif. Barang bukti berupa sebilah parang juga berhasil disita.

“Kami mendalami apakah pelaku bertindak spontan atau sudah merencanakan pembunuhan. Pemeriksaan psikologis juga akan dilakukan,” ujar IPTU Sahrul.

Polisi juga memetakan kemungkinan adanya konflik sosial antarwarga pendatang dan warga asli di desa tersebut, mengingat motif ejekan “pendatang” disebut-sebut sebagai pemicu awal.

Analisis Investigatif: Retakan Sosial yang Tak Terlihat

Kasus ini tak sekadar soal ejekan bocah terhadap seorang pemuda. Dari penelusuran awal, terdapat indikasi adanya ketegangan sosial di tingkat lokal antara kelompok pendatang dan warga setempat.

Stigma “pendatang sok-sokan” yang dilontarkan korban mungkin mencerminkan sentimen sosial yang lebih dalam.

Pakar kriminologi Universitas Halu Oleo, Dr. Aswar Hadi, menilai kasus ini sebagai “bom waktu sosial.”

“Ada potensi ketidakharmonisan antarwarga yang memicu perasaan terisolasi. Jika masalah ini dibiarkan, kasus serupa bisa terulang,” ungkapnya.

Di sisi lain, psikolog forensik Dr. Nur Hayati menambahkan, pelaku yang masih berusia 18 tahun kemungkinan mengalami ketidakstabilan emosi.

“Rasa malu, marah, dan harga diri yang terganggu bisa membuat seseorang bereaksi ekstrem jika tidak ada kontrol sosial yang kuat,” katanya.

Tuntutan Keadilan dan Trauma Kolektif

Kasus pembunuhan Mutmainah Azahra menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga dan warga sekitar.

Aktivitas mengaji yang biasanya menjadi rutinitas anak-anak kini berubah menjadi kenangan pilu.

Masyarakat menuntut pemerintah daerah dan pihak kepolisian memberikan perhatian lebih, termasuk pendampingan psikologis bagi keluarga korban dan saksi-saksi, khususnya Wahyu, adik korban, yang menyaksikan peristiwa itu dari jarak dekat.

Tragedi Kolaka Timur menjadi alarm keras tentang pentingnya membangun kesadaran sosial, kontrol emosi, dan edukasi publik mengenai penyelesaian konflik.

Polisi berjanji memproses kasus ini secara transparan hingga tuntas, sementara keluarga korban berharap pelaku dijatuhi hukuman maksimal.

(Tim Redaksi)